keuangan negara

Just another WordPress.com weblog

REVISI APBD : SOLUSI TERBAIK UNTUK REALISASI PEMBAYARAN GAJI PNS

Secara makro, policy pemerintah pusat menaikkan gaji PNS di mata para pegawai seluruh Indonesia, merupakan kebijakan yang populer, dan jika ada permasalahan dalam teknik pembayarannya, mereka umumnya tidak akan mempersoalkan tentang hal tersebut. Yang menjadi parameter adalah: diterimanya sejumlah uang yang diakibatkan dengan adanya policy tersebut. Hal seperti ini memang merupakan sesuatu yang wajar dan telah berjalan normal, sebab pada dasarnya yang menjadi ukuran kinerja suatu pemerintah daerah adalah outcomes-nya., dalam kaitan ini, terbayarnya sejumlah uang kekurangan gaji tersebut (yang akan dibelanjakan para pegawai untuk sejumlah pengeluarannya) hal ini yang akan dinilai masyarakat.

Untuk kepentingan masyarakat seperti halnya kekurangan gaji ini apakah masyarakat hanya menunggu? Secara politis kelembagaan, mereka terwakili haknya di DPRD lembaga ini yang akan memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat karena dewan inilah yang mempunyai hak controle dan hak budget terhadap anggaran pemerintah daerah, tempat dimana kekurangan gaji ini akan dibayarkan.

Jika dikaitkan dengan masalah otonomi yang mana pada dasarnya otonomi merupakan kemandirian lokal, pemerintah daerah harus menyelesaikan permasalahan-permasalahannya (termasuk permasalahan budget) ke dalam pemerintahannya sendiri terlebih dahulu. Dalam hal kenaikan gaji yang mungkin dilakukan adalah menengok kembali alokasi dana dalam APBD-nya dan kalaupun ada bantuan penyelesaian dari pemerintah pusat, maka hal tersebut merupakan prioritas kedua. Lain halnya jika policy kenaikkan gaji ini merupaka kesalahan pemerintah pusat dalam mengeluarkan kebijakannya.

Dalam mekanisme seperti ini peran DPRD sebagai wakil rakyat dituntut untuk lebih berperan dalam meng-controle pemerintah daerah tentang bagaimana policy executive sebagai pelayan masyarakat dalam memenuhi hajat hidup rakyatnya. Dan bukannya memaksa rakyat untuk mengerti keadaan pemerintahnya, berharap mereka mengerti jika kekurangan gajinya belum dapat terbayar.

Menanggapi pernyataan bahwa kebijakan menaikkan gaji PNS merupakan kebijakan pemerintah yang tiba-tiba dan harus disertai juga dengan turunnya tambahan dana untuk kebijakan tersebut. Adalah  penting untuk diketahui juga oleh masyarakat letak permasalahannya, selain masyarakat dipaksakan untuk mengerti tentang kekurangan DAU. Jika kita me-review kembali dari mana sumber DAU tersebut dan peruntukkannya, ternyata sesuatu hal yang nyata yang terlupakan ialah: kebijakan menaikkan gaji PNS bukanlah kebijakan yang tiba-tiba dan tanpa perhitungan tentang anggarannya.

Policy ini diungkapkan secara jelas dalam keterangan pemerintah dalam RAPBN tahun 2001 pada rapat paripurna DPR RI pada tanggal 2 Oktober 2000 yang dibacakan Ibu Megawati (saat itu wapres) yang petikannya antara lain: “… diharapkan pada berbagai keterbatasan ini, pemerintah berupaya memperbaiki kesejahteraan pegawai negeri. Langkah yang akan dilakukan adalah dengan memperbaiki sistem penggajian, yaitu dengan mengintegrasikan seluruh tunjangan perbaikan penghasilan (TPP) yang diberikan sejak tahun anggaran 1998/1999 ke dalam gaji pokok. Langkah ini terutama diarahkan untuk memperbaiki pelayanan kesehatan pegawai negeri dan pendapatan mereka dalam masa pensiun. Tambahan dana yang diperlukan untuk hal tersebut sudah diperhitungkan dalam belanja pegawai yang keseluruhannya mencapai 39,9 triliun.”

Policy ini dalam hal pendanaanya juga di-breakdown dalam DAU. Jadi DAU yang turun ke masing-masing daerah dengan Keppres 181/2000 telah termasuk di dalamnya alokasi dana untuk mengantisipasi kenaikan gaji PNS 15%. Permasalahan yang terjadi ialah saat pemerintah daerah menyusun APBD-nya porsi untuk kenaikan gaji 15% bagi masing-masing daerah tidak dianggarkan dalam anggaran belanja pegawainya. Ini yang menjadi dasar tolak permasalahan tidak cukupnya alokasi belanja pegawai APBD untuk membayar kekurangan gaji PNS. Sehingga dana yang dilihat lebih dari anggaran belanja pegawai tadi dialokasikan untuk anggaran lain(Anggaran Pembangunan). Jika hal ini yang merupakan kenyataannya dan kita sama-sama telah mengetahuinya, apa yang harus dilakukan? Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak controle dan hak budget-nya untuk mewakili kepentingan konstituante-nya dan dari sisi executive-nya mereka dapat menggunakan hak inisiatifnya. Hal kedua yang harus juga dicermati ialah penggunaan DAU 2001 (mengingat kondisi keuangan negara) yang diprioritaskan adalah Belanja Rutin Pegawai dahulu, jika ada sisa anggaran maka dianggarkan untuk Belanja Rutin Non Pegawai dan jika masih ada sisa baru digunakan untuk Anggaran Pembangunan.

Menanggapi pernyataan bahwa kekurangan gaji tidak dapat dibayarkan karena ada prioritas pembangunan yang harus segera direalisasikan, hal ini terbalik, adanya pembangunan (alokasi anggaran pembangunan) dalam satu tahun anggaran bukan ukuran keberhasilan dan bukan suatu pilihan  policy yang populer untuk pemerintah daerah sekarang ini. Yang menjadi policy populer untuk executive saat ini dengan dasar pemenuhan kebutuhan belanja rutin pegawai,  ialah terbayarnya kekurangan gaji PNS di daerahnya, karena memang hal inilah yang menjadi prioritas utama penggunaan DAU dan rakyatpun memahami akan hal itu.

Berkaitan dengan dana kontijensi apa yang dapat dicermati? Jika dalam DAU 2001 telah include alokasi dana untuk kenaikan gaji PNS dan sekarang akan turun kembali bantuan pemerintah pusat yang boleh digunakan untuk membayar rapel gaji, Berarti pemerintah pusat telah kembali memberi bantuan kedua  dan apakah ini akan tetap kurang untuk menutupi rapel gaji PNS?

Jika hal tersebut terjadi maka siapa yang harus mengintrospeksi perencanaan budgetnya? Pemerintah pusat ataukah pemerintah daerah? Masyarakat yang kini makin memahami hal-hal tersebut akan dengan sendirinya memberikan penilaian terhadap kinerja executive di daerah masing-masing. Untuk itu bagi pemerintah daerah jikapun dana kontijensi telah ada nanti ditambah lagi dana bagi hasil PPh yang sampai saat ini dapat ditarik untuk jatah 2 triwulan, masih kurang: maka Revisi APBD mungkin jadi pilihan yang terbaik untuk pemerintah daerah, mengingat masih ada waktu untuk revisi APBD sampai dengan akhir triwulan III ini.

Sebaiknya pemerintah daerah segera menyelesaikan permasalahan ini karena masyarakat menunggu policy pemerintah daerah berikutnya. Masyarakat tidak akan terlampau menghiraukan tentang kurangnya DAU karena merekapun paham bahwa otonomi adalah kemandirian lokal dan itu telah menjadi kesepakatan seluruh pemerintah daerah untuk berotonomi. Dan yang harus kembali dicermati ialah pengertian anggaran yang diwujudkan dalam APBD yang merupakan bentuk pemberian otoritas secara politis dari legislatif (wakil rakyat) kepada executive untuk melaksanakannya, yaitu: otorisasi pengeluaran dan pencairan sumber dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah yang kesemuanya akan selalu berorientasi pada peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Memang hak budget terkuat legislatif ialah saat dewan menetapkan APBD di awal tahun anggaran, tetapi dengan fungsi controle-nya pula hak budget tersebut akan muncul kembali saat pemerintah daerah akan mengajukan revisi APBD kepada legislatif.

Bagaimana jika revisi APBD itu sendiri butuh waktu pembahasan di legislatif sedang batas waktu revisi  sendiri untuk saat ini  terbatas?

Dalam prosedur anggaran terdapat asas fleksibilitas administratif yaitu asas yang menghendaki kemungkinan pemindahan dari suatu pos anggaran ke pos anggaran yang lain oleh eksekutif. Dilain pihak terdapat pula asas spesialitas kualitatif bahwa anggaran tertentu yang disetujui hanya boleh digunakan untuk tujuan yang dinyatakan bagi mata anggaran tersebut dan asas spesialitas kuantitatif  yaitu, larangan untuk melampaui batas jumlah mata anggaran yang disetujui.

Tampak ada pertentangan  antara kedua asas tersebut, hal ini merupakan bagian dari sistem pelaksanaan anggaran yang harus ditaati untuk menciptakan suatu sistem kontrol yang baik melalui kedisiplinan anggaran.

Dengan pemahaman konsepsional bahwa anggaran adalah otorisasi yang diberikan legislatif kepada eksekutif maka termasuk perubahan  terhadap anggaran itu sendiri harus melalui persetujuan legislatif (DPRD) sebelumnya.

Karena dalam pelaksanan anggaran sendiri terdapat pula asas periodiciteit dimana pelaksanan anggaran terkait dengan batasan waktu yang ditetapkan (satu tahun anggaran) maka jika ada pengeluaran–pengeluaran tertentu yang harus dibiayai dan ini menyebabkan pergeseran pos-pos anggaran sedangkan batasan revisi mendesak maka dalam hukum keuangan, pelanggaran atas asas spesialitas diatas dimaklumkan dengan undang-undang Indemnitas(Perda indemnitas) artinya legislatif akan memberikan pengesahan kemudian (goedkeuring) atas pengeluaran tersebut.

Dalam skala analog yang lebih tinggi, pada pelaksanaan APBN yang masih mengacu pada ICW (Indonesische Comptabeleteits Wet) pasal 105 disebutkan; dalam hal sesuatu pengeluaran demikian mendesaknya hingga tidak dapat menunggu pengesahan dengan undang-undang ‘ Gubernur Jenderal’  berwenang untuk memerintahkan pengeluaran dengan mengemukakan alasan-alasannya sambil  menunggu pengesahan atas keputusannya mengenai pengeluaran itu. Mengenai keputusan ini diberitahukan kepada  ‘volksraad’ dan ‘Algemeene Rekenkamer’.

Namun untuk permasalahan rapel gaji PNS jika masih ada waktu maka Revisi APBD melalui persetujuan  DPRD (Perda revisi APBD) tetap merupakan pilihan prosedur yang harus dilakukan,  sebab otorisasi  pengeluaran dari wakil rakyat atas pos yang direvisi tetap dibutuhkan pihak eksekutif untuk realisasinya.

Di sinilah tampak jelas bahwa anggaran adalah dana rakyat yang dikelola executive dengan persetujuan dan kontrol rakyat yang hak-haknya diwakilkan pada lembaga legislatif untuk semaksimal mungkin kesejahteraan rakyat.

Sebagai hal yang dapat ditarik maknanya: permasalahan  pembayaran kekurangan gaji PNS merupakan satu diantara banyaknya persoalan yang akan terus bersama kita hadapi di era otonomi. Dengan melihat beban tugas dan tanggungjawab daerahnya begitu besar, peran aspirasitif  DPRD harus konkrit dengan menyerap dan mengartikulasikan kepentingan rakyat dengan memiliki sensitivitas yang tinggi. Disamping itu, mengagregasikan kepentingan rakyat dimana harus mampu berperan menampung, mengubah dan mengkonversikan kepentingan-kepentingan yang diartikulasikan oleh rakyat sampai menjadi alternatif-alternatif kebijakan publik.

Teori Governace dengan salah satu pendekatannya yang disebut socio cybernatics approach (Rhodes, 1996) dimana sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kian kompleks isu yang harus segera diputuskan serta kekuatan masyarakat madani(civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan, maka untuk tercapainya hasil akhir yang memuaskan dari kebijakan publik tersebut tidak bisa hanya diandalkan sektor pemerintahan oleh karena itu peran aktif DPRD dalam menangkap aspiratif dan kemampuan manajerial diperlukan dalam menjalankan fungsi tersebut agar aspirasi masyarakat dapat terakomodasiberupa Perda dan penetapan APBD maupun penetapan Revisi APBD bersama kepala daerah sebagai mitra kerjanya.

Terlepas dari sisi prioritas penggunaan dana dan keterbatasan budget juga pilihan prosedural Revisi APBD yang mana hal tersebut kesemuanya merupakan   bagian dari teknis administratif anggaran dan hubungan antar kelembagan, namun hal yang pasti dinanti masyarakat saat ini adalah bagaimana pemerintah daerahnya, sebagai pelayan masyarakat dapat memenuhi harapan dengan  terbayarnya kekurangan gaji yang mungkin dapat makin miningkatkan kesejahteraan hidup mereka.

Syakran Rudy

peneliti pada Lembaga Manajemen Patria Artha Makassar

Harian Fajar, Makassar  29 Juli 2001

October 14, 2009 - Posted by | keuangan daerah

No comments yet.

Leave a comment